A. Pendahuluan
Putusnya perkawinan dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dijelaskan adalah dengan
sebab kematian, perceraian dan atas putusan pengadilan.
Putusnya perkawinan dengan sebab kematian adalah pada saat ikatan perkawinan masih ada,
salah satu dari suami isteri meningal dunia. Apabila suami yang meninggal dunia maka isteri
wajib menjalani iddah selama empat bulan sepuluh hari.
Sedangkan putusnya perkawinan dengan sebab perceraian adalah disebabkan suami mentalak
isterinya di depan pengadilan atau isteri menuntut cerai akibat suami melanggar taklik talaknya.
Talak menurut bahasa adalah melepaskan ikatan, sedangkan menurut istilah Mazhab Hanafi
dan Hambali mendefinisikannya sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara langsung atau
pelepasan perkawinan di masa akan datang. Sedangkan Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak
sebagai pelepasan akad nikah dengan lapal talak atau yang semakna dengan lapal itu.(1)
Berdasarkan defenisi ini, baik talak bain maupun talak raj’i, akibat hukumnya langsung berlaku
ketika pernyataan talak disampaikan suami dan segala resiko talak tersebut berlaku untuk
kedua belah pihak.
Hensyah Syahlani memberikan definisi kata perceraian, (bukan kata talak), yakni sebagai suatu
keadaan di mana antara seorang suami dan seorang isteri telah terjadi ketidakcocokan batin
yang berakibat pada putusnya tali perkawinan melalui putusan pengadilan. (2)
Akibat dari adanya talak maka timbul suatu hukum iddah, yakni masa menunggu untuk dapat
menikah kembali. Iddah adalah nama bagi suatu masa seorang wanita harus menunggu dan
dilarang untuk melakukan perkawinan dengan laki- laki lain, setelah suami wafat atau terjadi
perceraian. (3)
Imam Muhammad bin Ismail Al Kahlani, menjelaskan bahwa Iddah adalah nama bagi suatu
masa seorang wanita yang dilarang melangsungkan perkawinan pada masa itu setelah
suaminya wafat dan setelah suami menceraikannya. Masa itu dihitung adakalanya sampai
melahirkan dan terkadang quru’ dan kadangkala dengan menghitung bulan. (4)
Macam- macam iddah karena perceraian dalam nikah yang sah, ada tiga macam, yaitu, iddah wanita hamil, iddah dengan sebab perceraian yang masih datang haidh dan iddah bagi wanita
yang tidak berhaidh.
Oleh karena itu apabila disebut iddah maka konotasinya akan tertuju kepada seorang wanita.
Namun dengan laki-laki pemahaman kita selama ini tidak menjalani masa iddah. Artinya sehari
setelah terjadinya perceraian (Akta Cerai diterbitkan) mantan suami dapat menikah lagi dengan
wanita lain disamping punya hak untuk kembali kepada mantan isteri dengan rujuk.
Namun disini akan muncul persoalan jika si laki-laki (mantan suami) telah menikah lagi dengan
wanita lain dengan nikah baru kemudian dalam masa iddah mantan istrinya yang baru
diceraikannya ia kembali merujuk isterinya itu, maka dalam kondisi itu si laki-laki telah
mempunyai dua isteri (poligami) tanpa izin Pengadilan Agama. Ketika ia menikah lagi dengan
wanita lain itu ia dapat melakukannya dengan mudah karena ia telah memiliki Akta Cerai dari
Pengadilan Agama, ketika rujuk dengan mantan isterinya ia juga dengan mudah dapat
melakukannya karena mantan isterinya masih dalam masa iddah yang ia berhak untuk
merujuknya.
Secara zahir si laki-laki tidak melanggar satupun dalil syar’i dan Undang-Undang yang berlaku.
Tetapi setelah didalami bukankah ia telah melanggar Undang-Undang No.1/1974 Pasal 4 ayat
1 (berpoligami tanpa izin Pengadilan Agama). Bukankah ini namanya penyelundupan hukum ?
Tidak adakah jalan lain untuk antisipasi permasalahan ini ? Dalam tulisan ini penulis mencoba
menawarkan solusi hukum dalam menyelesaikan masalah ini yaitu dengan memberlakukan
syibhul iddah bagi suami.
B. Pengertian Syibhul Iddah dan dasar hukumnya
Secara sederhana bahwa syibhul iddah suatu hal yang menyerupai iddah. Kata “asy syibhu”
berarti “hal serupa, sama”, berasal dari kata ????? (al-syibh) jamaknya (asybah) ????? .
(5) Adapun kata iddah yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah masa tunggu bagi
suami yang telah menceraikan isterinya di mana isteri yang diceraikan tersebut masih menjalani
masa iddahnya. Kemudian kata “bagi suami” yang dimaksudkan dalam penulisan ini yaitu bagi
suami yang beragama Islam, dalam artian yang berkaitan dengan ketentuan dan peraturan
perundang-undangan yang berkenaan dengan permasalahan iddah, ketentuan, hak dan
kewajiban suami ataupun isteri.
Apa dasar hukum adanya syibhul iddah bagi suami?
Para ulama klasik telah banyak yang memfatwakan bahwa wanita beriddah dengan iddah raj’i
masih tetap statusnya sebagai seorang isteri, dengan pengertian bahwa ia masih berhak
memperoleh nafkah sepenuhnya seperti biasa sebelum perceraian terjadi. Kemudian suami
masih berhak merujukinya tanpa persetujuan dan sepengetahuan isteri, dan juga tanpa aqad
nikah dan mahar yang baru.
Hal itu dapat dilihat dari uraian Qalyubi dan Umairah dalam Hasyiahnya sebagai berikut :
“Seorang suami sah mengilla’ menzihar dan meli’an isterinya dalam iddah raj’iyah sebab ia
masih berhak terhadap isterinya tersebut, dengan adanya hak untuk merujukinya dan keduanya
masih saling mewarisi satu dengan lainnya” (6)
Kemudian isteri yang dalam iddah raj’iyah tidak boleh (haram) dipinang oleh laki-laki lain,
baik secara sharih maupun kinayah, sebab apabila ikata perkawinan belum putus, justru ia
masih berstatus isteri. Sejalan dengan yang dijelaskan Abu Zahrah sebagai berikut :
“Para fuqaha sepakat bahwa haram meminang wanita yang sedang dalam iddah raj’I, baik dengan jalan jelas maupun dengan cara sindiran. Sebab isteri yang ditalak dengan talak raj’I,
ikatan perkawinannya tidak putus selama masa iddah” (7)
Demikian juga halnya masalah mengumpulkan antara dua orang yang bersaudara dalam
aqad nikah, tidak dibolehkan selama isteri yang diceraikan itu dalam masa iddah. Hal ini juga
menunjukkan bahwa ia masih dalam status isteri, penjelasan tentang masalah tersebut dapat
diperhatikan pada uraian Muhammad Jawal Mughniyah sebagai berikut :
“Sepakat ulama atas haramnya suami melakukan aqad nikah dengan saudara isterinya
sebelum habis iddah isterinya tersebut, apabila suami menceraikannya dengan talak raj’I, oleh
karenanya isteri yang dalam iddah raj’I tidak boleh di pinang oleh laki-laki lain, dan suami haram
mengumpulkan isteri yang dalam iddah raj’I dengan saudaranya dalam aqad nikah sebelum
selesai iddahnya” (8)
Berdasarkan uraian diatas dapat dipahami bahwa isteri yang dalam iddah raj’i masih tetap
kedudukannya sebagai isteri dan berakibat kepada suami yang menceraikannya karena masih
ada kaitannya dengan pihak isteri yang diceraikan. Kemudian jika dilihat dari hal-hal yang
menghalangi suami untuk melaksanakan aqad nikah tersebut adalah seolah-olah suami juga
wajib beriddah, sebab ia terhalang melangsungkan aqad nikah sebelum selesai iddah isterinya.
C. Syibhul Iddah bagi suami dalam UU No 1/1974
Dalam Undang-Undang No. 1/1974 secara zahir memang tidak dilihat adanya laki-laki
yang menjalani masa iddah sebagaimana isteri. Namun setelah dikaji lebih mendalam adanya
hak dan kewajiban mantan suami yang telah mentalak raj’i isterinya ada ditemukan.
Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (1) menegaskan bahwa pada
asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang
wanita hanya boleh mempunyai seorang suami. Pasal ini menjelaskan bahwa Undang-undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas monogami. Namun tidak tertutup
kemungkinan kesempatan kebolehan untuk menikahi wanita lebih dari seorang asalkan dapat
memenuhi syarat-syarat tertentu dan harus dapat berlaku adil. Hal ini sejalan dengan firman
Allah dalam Al-Qur’an pada Surat An Nisa’ ayat 3 yang menegaskan sebagai berikut :
“ Kemudian jika takut tidak akan dapat berlaku adil maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya.”
Pada dasarnya asas perkawinan dalam Islam adalah monogami, sedangkan poligami
merupakan pengecualian, yaitu terhadap suami yang sanggup untuk berlaku adil terhadap
isteri-isterinya. Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 terdapat beberapa beberapa
prinsip yaitu :
1. Asas Sukarela.
2. Partisipasi Keluarga.
3. Perceraian dipersulit.
4. Poligami dibatasi secara ketat.
5. Kematangan calon mempelai.
6. Memperbaiki derajat kaum wanita.
Undang-undang Perkawinan menentukan bahwa tujuan suatu perkawinan adalah untuk
membentuk keluarga sejahtera dan bahagia, oleh karenanya diperlukan adanya persetujuan
dari kedua calon suami isteri tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Sehingga benar-benar perkawinan itu dilandasi dengan keikhlasan dari kedua calon mempelai, sehingga
tujuan perkawinan tercapai.
Dalam suatu perkawinan partisipasi keluarga tidak kalah pentingnya sebab mereka
adalah keluarga dari masing-masing mempelai yang telah menjalin perkawinan. Hal mana
dukungan masing-masing dari kedua mempelai tersebut sangat diperlukan. Sebab perkawinan
tanpa didukung oleh keluarga baik yang dekat maupun yang jauh dari kedua belah pihak dapat
saja menimbulkan keretakan atau kericuhan dalam suatu rumah tangga, yang dapat dikatakan
bahwa dalam mendukung kesuksesan suatu rumah tangga tidak terlepas dari partisipasi pihak
keluarga.
Sering terjadi dalam suatu rumah tangga sangat rapuh mudah pecah dan tidak kokoh,
lazimnya rumah tangga seperti ini tidak ada dukungan maupun partisipasi dari masing-masing
keluarga, karena peranan keluarga dari kedua belah pihak sangat berpengaruh dalam
membentuk rumah tangga yang harmonis.
Perceraian adalah suatu yang tidak disenangi/diingini oleh seorang wanita apalagi
dengan talak karena perceraian itu ibarat pintu darurat di sebuah pesawat yang tidak perlu
dibuka kalau tidak sangat penting sekali untuk mengatasi kerisis yang dialami oleh pasangan
suami isteri. Maksudnya walaupun talak itu adalah hak laki-laki, namun tidak selamanya ia
menggunakan hak tersebut dengan sewenang-wenang dengan alasan merupakan haknya.
Oleh karenanya Undang-undang mengaturnya untuk itu, dengan tujuan tidak dilakukan
sekehendak suami saja tanpa suatu alasan yang jelas.
Perkawinan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bersifat monogami
tetapi apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan, bisa saja tidak demikian, karena Hukum
Agama membolehkannya bagi suami untuk beristeri lebih dari seorang. Namun demikian
meskipun telah dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan, tetap ada dasar atas keizinan
dari pihak isteri yang dinyatakan di Pengadilan, dan diputus oleh Pengadilan barulah
dinyatakan dengan keizinan dari pihak isteri.
Melaksanakan perkawinan hendaknya bagi calon mempelai telah matang jasmani dan
rohani untuk melangsungkan perkawinan agar dapat memenuhi tujuan suci dari perkawinan
tersebut, disamping untuk mencapai keturunan yang baik-baik dan sehat. Tujuannya adalah
untuk mencegah agar tidak terjadi perkawinan di bawah umur yang terkadang membuat rumah
tangga tidak kekal bahkan selalu rapuh, oleh karenanya Undang-undang telah mengaturnya
dalam hal telah menentukan umur perkawinan yaitu 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi
wanita, dengan demikian diharapkan adanya keseimbangan dalam kehidupan suatu rumah
tangga.
Dalam rangka untuk meninggikan derajat wanita oleh karena sangat memerlukan
perlindungan. Pada masa-masa yang lampau selalu terjadi dimana pria mempergunakan hak
cerai/mentalak secara semena-mena, maka wanitalah yang paling banyak merana dan
menderita akibat dari perceraian tersebut. Oleh karenanya merupakan pukulan moril yang
sangat berat bagi wanita setelah diceraikan oleh suaminya. Yang lebih parah dan menyakitkan
lagi di mana pasangan suami isteri tersebut telah dikaruniai anak, sehingga bagi seorang isteri
yang diceraikan akan mengalami kegamangan dan kebimbangan dalam menjalani kehidupan,
terutama anak-anak akan lebih merasakan pukulan moril yang sangat berat bahkan dapat
dikatakan seperti mengalami siksaan berat di dunia, sedang pada pihak isteri yang dicerai
dapat terjadi sikap yang tidak mempunyai harapan yang cerah ke depan. Hal ini disebakan
karena dengan keterpaksaan harus mencari nafkah sendiri dan begitupun dalam hal lainnya,
misalnya sekaligus menjadi kepala keluarga, yang selama ini dipikul bersama dengan sang suami sementara setelah terjadi perceraian, ia mengalami tekanan mental yang tidak
berkesudahan.
Dari uraian diatas Penulis berkesimpulan bahwa Syibhul Iddah dalam Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 ada tercantum secara eksplisit yaitu suami yang mentalak isterinya
dengan talak raj’i, selama isterinya menjalani masa Iddah maka suami yang mentalak tersebut
belum dapat menikah lagi dengan wanita lain sebelum wanita yang diceraikannya habis masa
iddahnya karena laki-laki (suami) tersebut masih bersyibhul iddah
D. Implikasi Hukum Syibhul Iddah.
Syibhul Iddah dalam Hukum Islam dan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam khusus
ayat 3 dan 23 Surat An Nisa’ dengan Pasal 3 ayat 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 jo.
Pasal 153 Kompilasi Hukum Islam, terdapat beberapa Implikasi Hukum sebagai berikut :
1. Syibhul Iddah dalam Hukum Islam didapati secara tersirat dalam ayat 3 dan 23 Surat An
Nisa’ dimana bagi seorang laki-laki (suami) yang ingin menikah lagi dengan wanita lain
meskipun telah diceraikan salah seorang dari isterinya yang empat tersebut, suami tersebut
bersyibhul iddah dengan isteri yang ditalaknya tersebut. Syibhul Iddah seperti ini tidak didapati
dalam proses peradilan di Pengadilan Agama, akan tetapi bagi masyarakat Islam harus
memahaminya, karena hal seperti ini selalu tidak diperhatikan oleh umat Islam apabila ia ingin
menyatakan kehendak nikahnya, sehingga terjadi dimana-mana penyelundupan hukum dengan
terjadinya poligami liar.
2. Syibhul Iddah dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2) jo. Pasal 153
Kompilasi Hukum Islam.
Dalam kenyataannya di Pengadilan Agama terhadap perkara Cerai Talak (CT), apabila Hakim
memberi izin kepada suami (Pemohon) untuk mengikrarkan talaknya, ia telah berasumsi bahwa
talak telah terjadi, maka sering terjadi bagi pihak suami yang telah dipanggil dengan resmi dan
patut untuk menghadiri sidang Ikrar Talak tidak hadir lagi, atau dikarena hendak menghindari
akibat cerai seperti pembayaran biaya Hadhonah, Mut’ah, Kiswah dan Maskan, sehingga tidak
segan-segan pihak suami tidak menghadiri sidang Ikrar Talak tersebut. Oleh karenanya Hakim
menunda sidang sampai batas waktu Pemohon melaporkan halnya ke Pengadilan, maka
apabila telah lewat tenggang waktu enam bulan sejak ditetapkan hari sidang Penyaksian Ikrar
Talak setelah dipanggil secara resmi dan patut, maka gugurlah kekuatan penetapan tersebut,
dan perceraian tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan yang sama.
Jika, perkara Cerai Talak telah dilaksanakan Ikrar Talaknya, bagi suami tidak dapat begitu saja
langsung mendaftarkan kehendak nikahnya ke PPN atau P3N setempat, sebab suami yang
mentalakkan isterinya tersebut masih bersyibhul iddah kepada isteri yang di talak dengan talak
raj’i. Akan tetapi senyatanya di masyarakat hal ini diabaikan saja sehingga suami yang
mentalak tersebut menganggap dirinya tidak terkait dengan iddah isteri yang ditalaknya
tersebut. Padahal secara hukum suami tersebut masih ada kaitan hukum dengan adanya
Syibhul Iddah, maka apabila PPN tetap menerima kehendak nikah dari suami tersebut, tanpa
lebih dahulu PPN atau P3N meneliti data yang tercantum dalam Akta Cerai dengan teliti, sudah
barang tentu terjadi poligami tidak resmi. Dengan kata lain telah terjadinya penyelundupan hukum, dan telah melanggar asas Pasal 3 ayat 1 dari Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974
yang berazas monogami. Hal seperti ini selalu tidak diperhatikan bagi suami yang mentalakkan
isterinya sehingga bisa saja terjadi poligami tidak resmi, karena suami masih dapat ruju’ kepada
isteri yang ditalaknya tersebut.
Disinilah diperlukan kearifan Hakim untuk memberitahukan kepada Pemohon bahwa walaupun
telah diucapkan Ikrar Talak di depan sidang Pengadilan Agama, namun tidak tertutup
kemungkinan untuk ruju’ kepada isteri yang ditalak dengan talak raj’i, hal mana tidak melanggar
ketentuan dan asas Peradilan sebagaimana yang dimaksudkan Pasal 2 ayat (1)
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 dan Pasal 142 ayat (1) yaitu asas Hakim bersifat
menunggu, dan Hakim pasif, karena seorang Hakim harus kreatif dalam menggali informasi
yang jelas dari pihak agar dalam putusannya bernuansa rasa keadilan dan nilai hukum yang
hidup di dalam masyarakat.
Oleh karenanya apabila hakim tidak berkeinginan untuk menyampaikan kepada suami
(Pemohon) yang telah mengikrarkan talaknya di depan sidang pengadilan tentang syibhul iddah
berada di pihak suami yang menceraikan maka akan terjadi penyelundupan hukum yang
berkepanjangan. Berkenaan dengan hal yang demikian Hakim Pengadilan Agama yang paling
tepat untuk mensosialisasikan adanya syibhul iddah bagi suami setelah ia mentalak isterinya.
Khusus bagi Hakim Peradilan Agama tersirat panggilan moral untuk memberikan penjelasan
baik di persidangan maupun di luar persidangan apabila timbul pertanyaan dari Yustisiabelen
tentang implikasi adanya Syibhul Iddah dari aspek Hukum Islam yang berkaitan dengan Surat
An Nisa’ ayat 3 dan 23 jo. Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 agar tidak
terjadi penyelundupan hukum dalam masyarakat. Hal ini tetap ada sentuhannya kepada
maksud dan tujuan Pasal 52 ayat (1) Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang menjelaskan
bahwa “ Peradilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan nasihat tentang Hukum
Islam kepada Instansi Pemerintah di daerah hukumnya, apabila diminta “.
Pasal ini di dalam penjelasannya meskipun dinyatakan cukup jelas, namun tetap diperlukan
kearifan Hakim, sifat kreatif Hakim dipersidangan untuk menjelaskan kepada Pencari Keadilan
tentang eksistensi hukum syibhul iddah dalam Islam yang bertujuan untuk ketertiban, sebab
tujuan di berlakukannya suatu Undang-undang adalah untuk ketertiban hidup dan kehidupan
masyarakat, sehingga bagi Hakim boleh saja melakukan kontra legem dengan tujuan utama
untuk menerapkan asas kepatutan dan nilai-nilai keadilan dari hukum itu sendiri.
Disinilah bagi seorang hakim dapat dikatakan sebagai pembuat hukum (judge made law)
sehingga putusan yang dijatuhkan oleh Hakim berisikan edukasi, prefensi dan refresif.
Kemudian apabila dilihat dari aspek positifnya tentang Syibhul Iddah terhadap suami sudah
barang tentu ada diantaranya :
1. Untuk menghindari terjadinya poligami tidak resmi, sebab isteri yang telah diceraikan dengan
talak raj’i, suami belum dapat menyatakan kehendak nikahnya, karena tidak tertutup
kemungkinan suami kembali ruju’ kepada isteri yang ditalaknya tersebut. Oleh karena itu bagi
PPN ataupun P3N seharusnya menolak pendaftaran kehendak nikah tersebut setelah ternyata
data yang ada Akta Cerai menunjukkan bahwa iddah isteri yang talak raj’i itu belum habis masa
iddahnya. Hal ini berlaku kepada kedua belah pihak suami yang menceraikan maupun pihak
isteri yang diceraikan demi terlaksananya hukum dengan tertib, halmana talak raj’i adalah talak
kesatu atau kedua dimana suami berhak ruju’ selama isteri dalam masa iddah.
2. Untuk mengetahui alasan talak yang dijatuhkan, sering terjadi bagi suami dalam
menjatuhkan talak sekehendak diri suami saja tanpa ada suatu alasan hukum (reason of law),
sehingga pihak isteri selalu menyatakan tidak senang dan tidak menerima untuk diceraikan.
Meskipun talak itu ditangan laki-laki (suami), namun tidaklah sewenang-wenang suami untuk
menjatuhkan talaknya, sebab baik aspek Hukum Islam maupun Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dan Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989 pada dasarnya adalah untuk memperbaiki dan mengangkat derajat, harkat serta martabat
kaum wanita. Sejalan dengan asas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 yang bermuatan
beberapa asas di antaranya dengan memperhatikan kematangan calon kedua mempelai,
adanya partisipasi pihak keluarga, dan mempersulit terjadinya perceraian yakni tidak
sekehendak pihak suami maupun pihak isteri, serta agar jangan pihak suami berbuat
semena-mena dan sekehendak hatinya saja dalam hal menceraikan isterinya.
3. Untuk mempertegas bahwa bagi suami yang mentalakkan isterinya melekat pada dirinya
hubungan hukum yang disebut syibhul iddah, sehingga suami tersebut setelah mentalakkan
isterinya tidak beranggapan sudah selesai hubungannya secara hukum kepada pihak isteri
yang diceraikan. Hubungan hukum antara suami yang menceraikan dengan isteri yang
diceraikan masih terkait dengan hubungan hukum, seperti hak nafkah iddah, maskan, kiswah
dan lain sebagainya. Halmana merupakan hubungan hukum yang tidak dapat terpisahkan
setelah terjadinya akad nikah (mitsaaqan ghalizhon) yang maksudnya setelah terjadinya akad
nikah, antara seorang lelaki dan seorang wanita maka akan terjadi keterkaitan hukum seperti
adanya sibhul iddah.
E. Kesimpulan
1. Iddah adalah suatu masa yang pada saat wanita (isteri) menunggu dan tidak boleh
melakukan perkawinan baik karena meninggal suami, atau karena suami menceraikannya.
Kemudian adanya iddah itu adalah untuk mengetahui bersihnya rahim seorang wanita dari
kehamilan serta untuk menjaga dan menghindari suatu keraguan-keraguan dan agar
terwujudnya keturunan (Nasab) yang murni.
2. Syibhul Iddah adalah seolah-olah laki-laki (suami) mempunyai masa iddah pada dirinya,
dimana ia harus menunggu iddah isterinya habis (berakhir) barulah kemudian ia dapat
melaksanakan perkawinan lagi dengan wanita yang lain. Misalnya, bahwa apabila seorang
suami mentalak isterinya sedang ia mempunyai isteri empat orang, sudah tentu apabila isteri
yang ditalak tersebut belum habis masa iddahnya berarti suami tersebut masih tetap boleh
merujuki isterinya, sebab ia masih berstatus beristeri empat orang, maka suami tersebut baru
dapat menikah lagi dengan wanita yang lain apabila iddah isteri yang ditalakkan itu telah
berakhir masa iddahnya.
3. Syibhul Iddah yang terjadi pada perkara Cerai Talak (CT) dimana Pengadilan telah memutus
perkaranya suami diberi izin untuk mengikrarkan talaknya di depan sidang Pengadilan Agama,
maka apabila suami telah menjatuhkan talaknya namun ia masih terkait dengan masa iddah
isteri yang ditalak dengan talak raj’i (ic. Perkara Cerai Talak) karena bila suami rujuk masih
dibenarkan hukum. Yang berakibat terjadinya poligami tidak resmi dan dapat dikategorikan
suatu penyelundupan hukum, sedang Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berasas
monogami.
4. Kedudukan suami dalam masa iddah antara lain memberi nafkah iddah, menyediakan
tempat tinggal kepada bekas isteri, hak merujuki selama masa iddah dan adanya hak saling
waris mewarisi, antara pihak suami yang mentalak isterinya dalam iddah raj’i.
F. Saran-Saran
1.
Diharapkan kepada wanita-wanita yang beriddah agar benar-benar menjalani masa iddahnya
dengan penuh keimanan dan kesadaran serta jujur, konsekwen terhadap ajaran Agama yang
bertujuan untuk keselamatan, dan kebahagiaan dunia akhirat, sebab masalah iddah erat
hubungannya dengan status anak, nafkah dan warisan, untuk itu dituntut bagi suami yang telah
menceraikan isterinya agar menunaikan kewajibannya sesuai dengan ketentuan Hukum
Agama, dan Perundang-undangan yang berlaku.
2.
Untuk terlaksananya hal-hal yang ada hubungannya dengan iddah, diharapkan kepada
Pemerintah Cq. Departemen Agama untuk dapat menerbitkan “Buku Pedoman Tentang Hak
dan Kewajiban Bagi Suami/Isteri Yang Bercerai”, dan hendaknya pihak Pengadilan (ic. Majelis
Hakim yang menyidangkan) untuk memberi penjelasan secara proaktif kepada Pemohon dan
Termohon agar tidak terjadi deviasi hukum yang berakibat terjadinya penyelundupan hukum.
3.
Diharapkan kepada Pegawai Pencatat Nikah (PPN), atau Pembantu Pegawai Pencatat Nikah
(P3N) setempat apabila menerima suatu pendaftaran kehendak nikah dimana kalau dilihat pada
Akta Cerai ternyata iddah isteri belum habis, maka bila berpegang yuridis formal sudah tentu
PPN atau P3N tidak menerima pendaftaran kehendak nikah tersebut.
4.
Sebaiknya dalam hal ini pihak PPN atau P3N dapat mencari solusinya agar tidak terjadi
poligami tidak resmi, dengan menganjurkan kepada pihak suami untuk membuat surat
perjanjian (suatu penyataan) bahwa suami tidak akan rujuk kepada isteri yang telah ditalaknya
tersebut untuk menghindari penyelundupan hukum.
5.
Demi terlaksananya perkawinan yang sah dalam arti tidak melanggar hukum syara’ dan
ketentuan Perundang-undangan yang berlaku tentang permasalahan yang berkaitan dengan
perkawinan diperlukan kepada pihak PPN dan P3N dalam menerima pendaftaran kehendak
nikah, agar lebih aktif, kreatif dan proaktif, agar tidak melanggar ketentuan
Perundang-undangan yang berlaku.