Anak Pandai menipu…Pertanda Cerdas

10.22.00
“Yah, ambilin mobil-mobilannya, dong. Tadi waktu Ade main, eh… jatuh di luar.” Apakah terlintas di pikiran Anda, mobil-mobilan yang dijatuhkan oleh si kecil lewat jendela adalah alasan agar ia bisa ikut ke luar rumah bersama sang ayah? Kali lain ia mengeluh, “Bun, sakit perut nih, obatin.” Aslinya sih, dia hanya ingin dielus-elus karena sedang kolokan. Bisa jadi pula ia akan beralasan kakinya sakit ketika ingin digendong, dan sebagainya.
Pendeknya, demi mewujudkan keinginan, si batita berusaha mencari-cari alasan dengan mengakali orang lain. Tetapi benarkah anak usia di bawah 3 tahun sudah pandai menipu? Tentu tidak! Seperti dikatakan Ergin Indera D. Laksana, Psi., “Anak usia ini, kan belum mengerti seperti apa yang namanya menipu atau berbohong. Kalau anak tahu hal itu menipu, pasti dari orang dewasa, yaitu dengan label-label yang diberikan oleh orang tuanya.” Lain hal jika perilaku ini ditunjukkan oleh anak usia sekolah, maka dapat dikatakan menipu.

Jadi, sebenarnya si kecil tak bermaksud untuk menipu. “Justru hal itu menandakan dia memiliki kecerdasan yang melebihi usianya.” Lo, kok? “Ya, karena apa yang dilakukannya itu adalah alternatif cara yang ditemukan si batita supaya apa yang dia inginkan tercapai,” urai psikolog yang praktik di Klinik Pela 9, Jakarta Selatan ini.
Intinya, anak melakukan aksi manipulatif karena menurutnya, dengan cara tersebut kemungkinan apa yang ia harapkan bisa tercapai, tak membuat orang lain marah, bisa membuat ayah atau ibunya mengikuti keinginannya dan tidak melarang lagi.
MAMPU MENGANALISA
Malah menurut Ergin, si batita yang pandai memanipulasi ini dapat dikategorikan sebagai anak yang kemampuan problem solving-nya bagus. “Karena dia bisa mencari dan menemukan cara lain dari yang lain untuk mendapatkan apa yang diharapkannya.
Selain itu, anak juga sudah bisa berempati atau menempatkan diri pada posisi orang lain. Misalnya, si kecil minta izin pada ayahnya untuk mengambil mainan di luar rumah yang memang sengaja dia jatuhkan ke luar rumah, sehingga saat ayahnya mengizinkan, keadaan tersebut dijadikan momentum kemerdekaannya. “Dia melakukannya karena tahu kalau dia minta main ke luar rumah pasti tak diizinkan. Jadi dia mengalihkan kepada hal atau cara lain supaya keinginannya main ke luar rumah dapat terlaksana, sementara orang tuanya pun tak marah.”
Nah, karena si batita sudah dapat melakukan kedua hal tersebut, maka bisa dibilang, “Kemampuan analisanya bagus dan baik.” Tak hanya itu, tambah Ergin, “Kemampuan bahasanya juga bisa dibilang bagus untuk anak seusianya.” Contoh, dia bisa mengatakan, “Yah, ambilin mobil-mobilannya dong. Tadi waktu Ade main, eh… jatuh di luar.”
Sementara pada umumnya, anak usia 18-24 bulan baru bisa menggabungkan dua kata semisal, “Mobil jatuh.” dan di usia 2-3 tahun berkata, “Mobil jatuh, di luar.” Dengan kata lain, jika si batita belum dapat berkomunikasi, maka dia takkan mampu melakukan “tipu-tipu” ini.
Belum lagi, umumnya anak usia batita lebih sering mengandalkan tangisan atau amukannya untuk mendapatkan sesuatu, terlebih kalau dilarang. “Jadi jika si batita sudah bisa melakukan aksi manipulasi seperti ini, maka tak bisa dipungkiri kalau dia memang cerdas,” tandas Ergin.
Di usia 2,5 sampai 3 tahun adalah masa-masa dimana emosi anak sedang tinggi-tingginya dan sikap memberontak yang amat menonjol. Apalagi kalau ternyata perkembangan bicaranya tidak sesuai dengan usianya. Kalau dilarang melakukan sesuatu, ia malah melakukannya. Hal ini dikarenakan anak sedang dalam fase ingin menunjukkan jati dirinya. “Sehingga kalau si anak lebih memilih sikap ‘nipu-nipu’ daripada menangis atau mengamuk, artinya ia selangkah lebih maju dalam hal pengendalian emosi.”
Itulah mengapa, tak semua anak usia batita mampu melakukan “tipu- tipu” ini, yang umumnya terjadi di atas usia 5 tahun. “Hanya batita yang sudah dapat berbicara dan mampu menyambung kata-kata menjadi kalimat dengan baik,” tambah dosen di Fakultas Psikologi Universitas Gunadarma, Depok ini.
LURUSKAN CARANYA
Kendati aksi manipulasi yang dilakukan anak menunjukkan kecerdasannya, bukan berarti boleh dibiarkan agar tak berkembang jadi negatif. Jadi harus dihentikan, tetapi caranya bukan dengan dimarahi, lo. Juga tidak memberikan label negatif semisal si “tukang tipu” atau dengan langsung melabelnya, “Ih… Ade bohong, ya…”
Saran Ergin, “Ajak anak berkomunikasi secara baik-baik.” Contoh, “Ade, kok ambil mainannya lama sekali?” Kemudian jelaskan, “Kalau cuma mengambil mainan, jangan lama-lama ya. Setelah diambil mainannya, langsung masuk lagi ke rumah.”
Jika di lain kesempatan anak melakukan hal itu lagi, katakan saja, “Wah, ternyata Ade lagi asyik main di luar, ya. Ade kan bisa bilang dulu sama Ayah. Ade jangan takut, Ayah tidak akan marah, kok.” Bisa juga ditambahkan untuk penjelasannya, “Kalau di luar tidak hujan, atau masih siang, Ade boleh kok main di luar.”
Hal tersebut berlaku pada yang lain. Saat anak ingin bermanja-manja, misal, katakan, “Ade sayang ya sama Bunda, jadi maunya deket-deket terus sama Bunda.” Bisa juga dilanjutkan, “Boleh kok tidur dekat Bunda. Tapi nanti tidur sendiri lagi ya,” misalnya.
Dalam kesempatan lain jika anak melakukan hal yang sama, baik juga bila kita tanya, “Kok gatal, kenapa?” Jika alasannya tak jelas dan tak ada bukti, katakanlah, “Oh, kamu ingin tidur sama Bunda, ya. Boleh kok. Tapi nanti malam Bunda pindahin ya. Ade sudah besar, jadi Ade pasti berani tidur tanpa ditemani Bunda.”
Tentu hal tersebut bisa kita lakukan setelah terlebih dahulu melakukan introspeksi dan mewujudkannya ke dalam perbuatan nyata, semisal tak banyak melarang, tidak mengekang, dan selalu punya alasan logis saat melarang.
SERING TERJADI PADA ANAK PEREMPUAN
Sekalipun perbuatan ini bisa dilakukan oleh anak perempuan dan anak laki-laki, akan tetapi menurut Ergin, “Jika dilihat dari teori perkembangan, dimana kecerdasan bahasa dan empati lebih cepat berkembang pada anak perempuan, maka perilaku manipulatif lebih sering terjadi pada anak perempuan.” Sekalipun begitu, lanjutnya, titik penentu anak melakukan aksi “tipu-tipu” lebih karena pola asuh orang tua dan sikap orang tua pada anak.
BAGAIMANA CARA MENGENALI SI “PENIPU”?
1. Perhatikan ekspresi wajahnya ketika sedang meminta sesuatu.
Apakah pada saat meminta, ekspresi wajahnya “lebih manis” atau “lebih manja” dari biasanya atau dengan nada “merayu”. Bila ya, ada kemungkinan anak sedang melakukan aksi “tipu-tipu”.
2. Ada reaksi seperti gagap sesaat atau tidak spontan dalam menjawab apabila orang tua meminta alasan dari anak.
Hal ini menandakan, anak sedang mencari jawaban yang membuat ia tidak dimarahi oleh orang tuanya. Lantas, apa yang harus dilakukan orang tua dalam menghadapi anak seperti ini?
  • Jangan panik, jangan marah, dan jauhkan pikiran negatif, semisal, “Wah, anakku sudah bisa bohong. Dari kecil saja sudah berbohong, apalagi besarnya nanti ya.” Seperti yang telah diuraikan di atas, anak batita belum mengenal konsep berbohong, yang dilakukannya adalah salah satu bentuk kreativitasnya.
  • Orang tua tak bisa begitu saja membiarkannya, oleh karenanya harus diluruskan (lihat bahasan “Luruskan Caranya”).
  • Orang tua harus introspeksi diri, apakah ada sikap-sikap atau perilaku yang memancing anak berperilaku “nipu-nipu”.
  • Memberi kesempatan pada anak untuk berargumentasi dan jangan menyudutkannya (menuduh) karena akan mematikan kreativitas anak.
  • Anak yang berperilaku seperti ini sebenarnya memiliki potensi yang baik dalam kemampuan berkomunikasi, analisa, pemecahan masalah, kreativitas, serta pengendalian emosi. Oleh karenanya orang tua dapat terus mengasahnya dengan aktivitas-aktivitas seperti mendongeng (untuk memasukkan konsep moral), tebak kata (untuk logika verbal), serta permainan edukatif untuk meningkatkan analisa dan pemecahan masalahnya (seperti pasel, melacak jejak, menyusun balok-balok, dan sebagainya).
EMPAT ALASAN
Tentu bukan tanpa sebab jika si batita yang cerdas ini melakukan aksi “tipu-tipu”. Seperti dipaparkan Ergin, sedikitnya ada 4 alasan mengapa si batita lebih memilih “ngakalin” orang tuanya ketimbang berterus-terang saja.
1. Ingin tahu alasan orang tua melarang
Selain didorong oleh keinginan memenuhi apa yang dia inginkan, aksi manipulatif yang dilakukan anak juga bisa disebabkan dorongan keingintahuan kenapa dia dilarang. “Kenapa sih aku dilarang main ke luar rumah? Anak lain saja tidak apa-apa,” misal.
Nah, karena dorongan-dorongan itulah, terlebih basic-nya juga cerdas, dia termotivasi untuk bisa mendapatkan jawaban atau apa yang diinginkan. Di sinilah otaknya bekerja mencari jalan keluar; dia menemukan cara yang kita label sebagai aksi nipu-nipu.
Kalau saja orang tua tak pernah melontarkan larangan tanpa alasan bisa jadi anak tak akan pernah melakukan aksi manipulatif seperti ini.
2. Mencari perhatian orang tua
Anak berusaha mendapatkan sebanyak mungkin perhatian orang tua dengan cara “menipu”. Contoh, anak ingin tidur dengan bundanya, maka ia pun beralasan tempat tidurnya bikin gatal, “Aku tidak mau tidur di sini, gatel.” Padahal kasurnya sudah dibersihkan, seprainya baru diganti, dan anak pun tidak sedang menderita penyakit kulit.
Bila demikian orang tua harus introspeksi diri, “Apakah saya sudah memberikan cukup waktu dan kualitas interaksi kepada anak?” Jika belum, langkah awal yang harus dilakukan adalah berusaha meluangkan waktu untuk berinteraksi dengan anak.
3. Anak meniru perilaku orang tuanya
Awal proses belajar pada anak adalah dengan meniru. Ada beberapa kondisi dimana orang tua, baik secara sadar ataupun tidak sadar, menampakkan perilaku manipulatif. Bila sikap ini terlihat oleh anak, maka ia akan mencontoh. Misal, seorang ayah berpesan kepada pembantunya, kalau ada orang lain yang mencarinya katakan bapak tidak ada, padahal si bapak ada di rumah. Bila hal ini diketahui oleh anak, ia akan berpikir, “Kok, ayah saya berkata seperti itu, padahal ayah ada di rumah.” Akhirnya anak sampai pada suatu kesimpulan, “Oh, dengan berpura-pura itu ternyata bisa memecahkan masalah ya.” Jadi orang tua harus berhati-hati dalam bersikap. Kalau ingin anak berperilaku jujur atau apa adanya, harus dimulai dari orang tua sendiri.
4. Orang tua kelewat protektif
Sebetulnya, perilaku manipulatif pada dasarnya adalah upaya anak mendapatkan apa yang diinginkan sekaligus terhindar dari kemarahan orang tuanya. Karena, biar bagaimanapun, rasa marah dari orang tua kepada anak, akan memunculkan rasa tak nyaman pada diri anak. Nah, orang tua yang kelewat protektif, tanpa disadari telah memunculkan perilaku “nipu-nipu” ini.
Akibat pola asuh yang terlalu melindungi, anak jadi merasa tidak bebas dan merasa selalu tertekan. Padahal usia batita adalah usia eksplorasi, dimana anak dapat memenuhi rasa ingin tahunya yang besar, menjawab rasa penasarannya, dan mencoba segala hal yang ingin diketahuinya. Selain itu, terutama di usia 2-3 tahun, biasanya anak terlihat sangat aktif, tak bisa diam. Bagi orang tua yang belum memahami benar tentang perkembangan anak, biasanya akan terlontar label-label negatif pada si anak, seperti, “Aduh… Ade kok nakal banget sih!”
Inilah saat tepat bagi orang tua untuk melakukan introspeksi diri mengenai pola asuh yang diterapkannya pada anak. “Iya nih, saya terlalu membatasi eksplorasi anak. Oke, mulai sekarang aku harus memperluas ruang eksplorasi anak,” misalnya.
Sebenarnya, orang tua yang kelewat protektif adalah orang tua yang memiliki kecemasan tinggi akan kondisi anaknya. Ada beberapa latar belakang orang tua dengan rasa cemas tinggi ini. Antara lain, si anak merupakan anak pertama, apalagi dengan kasus si ibu lama menanti datangnya anak setelah menikah. Atau, anak memiliki riwayat kesehatan yang tak begitu baik (daya tahan tubuhnya rendah, mudah sakit, dan sebagainya), sehingga orang tua sangat protektif kepada anak atau membatasi ruang gerak anak. Contoh kasus, orang tua tak mengizinkan anak naik-turun tangga di dalam rumah karena khawatir akan terjatuh. Untuk anak-anak yang cerdas, larangan ini, apalagi tanpa diberikan alasannya, akan semakin menam-bah rasa ingin tahunya. Dengan demikian ia akan mencari alasan untuk naik-turun tangga tanpa membuat orang tuanya marah, “Ade, kan mau ambil mainan yang ada di atas..,” misalnya.

Artikel Terkait

Next Article
« Prev Post
Previous Article
Next Post »